Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Lelucon Rindu

Sejak sajak mulai berjejak Mengajarjan tentang untaian rindu itu Merah jingga membara, merona indah di ufuk timur kota ini Mengantar sang fajar mengajar putranya yang pulang lalu ada lagi Sepanjang hari berusia, terik dan hujan memangku semesta Bernaung kita di terik berlindung kala di guyur Tentang mu yang aku jatuhkan cintaku Yang aku ceritakan rindu dengan segala nada dan rasa Yang menjelma kamu dalam kata-kata Aku tak pandai merindu tidak pula mencintai Tapi nyatanya tentang itu mendekap erat sembari cerita tentangmu Andai semua kata-kataku kau percaya sebagai rindu Aku berharap kau tau itu tentangmu saja Tanpa harus terpasung ketakpastian Akan arah kerinduan ini Rindu yang masih kau anggap lelucon

Dia MAHASISWA baru-ku

Kamu adalah PUISIKU masih ku ingat kala itu aku terjebak gelap malam Terperangkap pada dinginnya subuh Memakasa selimut melekat erat disisiku Ahh... barang kali saja malam menggodaku terlelap kala itu Sungguhpun masih ku ingat Sentakan mencari subuh yang kutemui pada pagi buta Dalam menggapainya lalu selesailah subuhku diatas sajadah Hari itu awal hari yang mengantar pertemuan kita Hari benar menjamuku dengan suasana baru Bersua denganmu diatara deretan mereka Lalu sebatas itu kembali pulang Suasana mulai menyepi barangkali semuanya ingin menyendiri dulu Aku sudah berjanji akan menulis puisi tentangmu Tentang manis senyummu Tentang bening hening bola matamu Sebagian darinya ada jejak janjimu yang penat dalam penantian Tentang rasa itu yang kau yakinkan aku akan menunggu Menunggulah sampai aku dapat menulis semua tentangmu Menulismu seutuhnya dalam bahasa-bahasa puisiku Menggugah akan dirimu lalu merangkainya lagi dalam bait-bait sajakku Hari-hari itu penuh dengan k

Wajah palu

Pray for PALU Kepada Palu Hari itu sama sekali tidak pernah datang sepucuk berita dari si camar Kicaunya pun entah kemana kala itu Mungkinkah ia tahu tentang murka laut Tentang terjal karang dan laju angin menggiring badai menyapu bibir-bibir pantai Entahlah mungkin saja ia tahu Pun barangkali kala itu ia teramat mengerti Lalu ia sembunyikan dalam terangnya sinar mentari pagi tanpa kicau resah ia bercumbu dengan buih di seberang sana Perihal itu  dikenang hari ini, esok hingga nanti Tentang ribuan jiwa mendesah resah dalam sisa daya berlari Merintih kecil dalam tangisan sembari merunduk pasrah memeluk kedua lututnya Tentang sibocah yang tanpa mengerti mengapa ia harus lari Sungguhpun ia terus bertanya apa salah ibunya? Lalu mereka sama-sama rabun pandangnya dalam perut badai Lalu terhanyut jauh dari rangkul jemari sang ibu Pasca itu semarak surat kabar bercerita Seratus, duaratus bahkan seribu jiwa terkapar berserakan Memenuhi ruang pengap, reruntuhan beton yang tak